Breath in, My Love
"Jika kita tau hal itu akan berakhir menyakitkan, sanggupkah kita menghentikannya saat masih indah?" Ya hal itu banyak diucapkan dan dijadikan quote- quote yang bertebaran dimana-mana. Aku mencoba untuk melakukannya. Berhenti saat masih indah. Setidaknya sebagai tindakan antisipasiku agar rasa ini tak semakin dalam. Aku telah membangun tembok sekuat tenagaku. Mengerahkan semua tenagaku agar tak ada yang bisa masuk dan menghancurkannya. Aku juga telah menggantung diriku di tali yang kuat. Di tempat yang tinggi. Agar tak ada yang bisa menggapaiku. Tapi dia datang untuk menghancurkannya. Ya setidaknya dua minggu yang lalu semua ini baik-baik saja sampai akhirnya dimas mengungkapkan semuanya. Ah aku masih tak bisa lupa dengan hal itu. Kami sudah berteman sekian lama. Tak pernah terlintas dibenakku bahwa dia akan mengatakan itu semua.
Tiba-tiba handphone ku berdering. Aku mengintip layarnya sedikit. Disana tertera nama "Ryandimas Adiputra". Tuhaaan kenapa dia. Aku ingin menghindarinya sekarang tuhaan. Lama sampai dering itu berhenti, aku tak ingin berbicara dengan Dimas saat ini. Sudah tiga hari aku tak bertemu dengannya. Bahkan telpon dan pesannya pun aku abaikan. Sekali lagi handphone ku berdering. Lagi-lagi dia. Aku biarkan lagi sampai berhenti bergetar. Berkali - kali hingga di handphone ku tertera 21 missed call Ryandimas Adiputra. Wow. Perasaan aku baru tertidur beberapa menit, ternyata waktu sudah menunjukkan pukul lima sore. Apa saja yang kau lakukan seharian ini Rafty? Merenungkan Dimas-mu itu? Atau merenungkan tembokmu yang telah dihancurkannya? Pikiranku melayang kemana - mana sampai akhirnya bunda mengetok pintu.
"Raf.. ada Dimas dibawah"
hah? Apa bun? Dimas? Apa - apaan ini? Beraninya dia datang saat aku menghindarinya.
"Raf lagi gaenak badan bun, susah berdiri nih" jawabku dengan sedikit memelas selayaknya aku benar benar sakit. Bunda masuk ke kamarku.
"kamu gapapa raf?"
"Gapapa, bun. Cuma agak gaenak badan aja"
"Yaudah kalo gitu, makanya kamu itu makannya teratur"
"Iyaa bun"
Bunda keluar dari kamarku dan menutup kembali pintunya. Tak lama kemudian pintu kamarku diketuk. Lalu dibuka. Betapa terkejutnya aku ternyata sosok yang masuk ini adalah Dimas.
"Aku tau kamu gak sakit, raf" Dimas menarik kursi dan duduk di depanku yang sedang berbaring. Aku langsung duduk diatas kasur. Hening.
"Kenapa kamu menghindar dari aku raf? Ada masalah apa? Perasaan kita baik-baik aja kan? Gak ada masalahnya? Kenapa kamu tiba-tiba ngehindar dari aku?" Akhirnya Dimas bebicara lagi. Pertanyaan bertubi-tubi itu membuat aku merasa diinterogasi setelah melakukan tindakan pembunuhan.
"Gak apa-apa kok. Aku cuma lagi males aja"
"kamu kenapa sayang?" Deg. Seketika jantungku berhenti berdetak. Aku menyadari sekarang Dimas bukanlagi sekedar sahabatku. Ya semua itu berubah dua minggu lalu. Aki terdiam cukup lama hingga aku membuka mulutku.
"Aku gak apa-apa Dimas. Bisa tolong kamu tinggalin aku sendiri?"
"Please" lanjutku, oh tuhan bukan ini yang aku inginkan. Aku merindukannya, tapi aku harus bisa melakukannya. Dimas tak mengucapkan satu kata pun lalu keluar dari kamarku.
Oh tuhan! Apa yang kau pikirkan Rafty! Apa? Kenapa kamu keluar Dimas? Kenapa? Harusnya kamu tetap disini dan membujukku? Ah bodoh! Lebih bodohnya aku yang tau bahwa Dimas seperti ini. Diamku takkan mengubah apapun darinya. Entah terbuat dari apa hati makhluk itu. Begitu dingin dan tak tertembus. Anehnya dia bisa membuatku gila dan mencintainya. Hampir, atau memang benar-benar mencintainya.
Aku tak mengerti harus sampai kapan seperti ini. Seminggu setelah kejadian itu Dimas benar-benar menghilang. Bodohnya aku benar-benar kehilangan dan merindukannya. Tuhan dimana letak perasaan makhluk itu? Takkah Dia mencoba untuk mencariku? Apakah rindu ini cuma aku saja yang merasakannya? Kemana kamu Dimas?
Sudah sebulan bahkan Dimas tak pernah menghubungiku lewat telepon. Ah. Aku tak tahan lagi. Aku harus menemuinya. Aku mencoba menghubungi Dimas berkali-kali tetapi tak bisa tersambung. Apakah Dimas sengaja mengganti nomernya agar tak bisa aku hubungi? Tapi semakin lama aku semakin cemas. Apa yang terjadi dengannya. Kenapa tiba-tiba menghilang seperti ini?
Setelah lama memutuskan akhirnya disinilah aku sekarang. Di teras rumah Dimas. Lelaki yang telah membuatku benar-benar gila. Aku berpikir cukup lama hingga akhirnya aku mengetuk pintu ini. Ibunya Dimas yang membukakan pintu dan mempersilahkan aku masuk dan duduk. Lidahku kelu hanya untuk menanyakan dimana Dimas. Setelah kalimat "duduk" yang dikatakan ibu tadi, dia tidak mengatakan apapun selama beberapa lama dan hanya duduk didepanku dan menatapku. Wanita ini sudah cukup berumur, rambutnya hampir putih seluruhnya, kulitnya sudah keriput, iya Dimas adalah anak kedua dan anak bungsu di keluarga ini. Beberapa menit kami hanya mendengar suara jam dan tak ada yang bicara. Tak lama kemudian ibu meneteskan air mata dan menunduk, tangannya menutupi wajahnya. Ia terisak. Aku tak bisa berkata apa-apa. Aku kebingungan. Benar-benar bingung. Aku tak tau apa yang harus aku lakukan. Aku tak tau sebenarnya apa di tangisinya. Apakah ini ada hubungannya denga Dimas? Kenapa dengannya? Apa yang terjadi dengan Dimas? Mengapa ibu menangis? Kemana Dimas sekarang?
Bodoh! Aku merasa benar-benar bodoh dengan hanya terdiam dan tak bisa melakukan apa-apa bahkan tak berkata apapun saat wanita didepan ku ini menangis. Aku taktau apa yang harus aku lakukan. Aku tak tau apa yang harus aku katakan. Ibu.. ada apa ini? Kenapa engkau menangis? Dimana Dimas? apa yang terjadi?
Lama aku hanya mendengan isakan ibu dan tak berbicara sepatah katapun.
"Dimas... Dimas... dimas benar-benar sayang sama Rafty..." ucapan ibu terhenti karena tangisnya kembali pecah, ibu terisak lagi. Setelah sekian lama hanya kalimat itu yang diucapkannya. Sedangkann aku, aku tak bisa mengucap satu kata pun.
"Dimas sekarang di singapura..." ibu menghapus air matanya dan mencoba berbicara denganku.
"Singapura?" Aku hanya bisa mengucap itu. Aku benar-benar terkejut. Apa? Singapura? Apa yang dilakukannya disana? Kenapa tiba-tiba dan tak ada pemberitahuan? Kenapa dia menghilang dan ternyata ada di singapura?
"Dimas selama ini punya penyakit.. dan sakitnya semakin parah sampai dia harus dirawat di singapura.. ibu baru pulang kemarin untuk mengambil barang-barang... "
Aku merasakan mataku basah. Aku terdiam. Aku tak tau apa yang harus aku ucapkan. Sakit apa? Sampai harus dirawat disana? Dimas, kenapa kamu tidak pernah memberi tau?
"Rafty tau kan kalo dimas punya maag? Iya dia selalu anggap remeh penyakit itu sampai sekarang jadi GERD, bahkan sudah memicu kanker kerongkongan, bahkan lambung dimas hapir berlubang. Kalo sampe berlubang ibu gak tau bakal gimana jadinya. Dokter bilang untung kemarin kami lebih cepat membawa dimas. Meskipun sudah terlambat juga" ibu kembali mengalirkan air mata setelah kata terkahir itu. Tuhan.. sekarang air mataku mengalir tanpa permisi. Aku terisak. Bibirku bergetar. Aku tak dapat mengucap satu katapun. Dimas... kenapa jadi gini sih? Kenapa kamu gini dimas?
Aku terisak cukup lama sampai aku bisa menenangkan diriku dan mencoba berbicara.
"Bu, kapan ibu mau kesana lagi? Bisa rafty ikut?"
"Ibu akan berangkat besok lusa , iya. Ibu kira dimas akan senang dengan adanya Rafty"
"Makasih bu. oh iya, rafty mau pulang dulu "
Aku pulang kerumah dan langsung masuk ke kamar. Aku menangis terisak. Aku tak habis pikir betapa bodohnya aku tak oernah mengetahui ini semua. Tak pernah menanggapi keluhan dimas tentang sakitnya yang semakin lama semakin parah. Sampai GERD? Tuhan kenapa jadinya begini?
Aku menangis seharian dan tak keluar dari kamar. Sudah dua hari bunda ke jogja jenguk oma yang lagi sakit. Bunda baru pulang besok. Jadi aku bisa nangis sesuka hati. Aku terbangun jam 9, ternyata aku tertidur setelah kelelahan menangis. Terakhir aku melihat jam adalah jam 3 pagi. Kepalaku sakit, mataku berat. Ah boneka beruang ini harus dijemur karna sudah basah dengan air mata. Bunda belum juga pulang. Aku mencoba menenangkan diriku dari kenyataan Dimas sedang sekarat di rumah sakit. Di singapura. Tuhaan.. aku tak habis pikir penyakit yang selama ini aku tertawakan membuatku menangis. Yang selama ini dia abaikan membuatnya terbaring tak bisa melakukan apapun. Dan terancam hidupnya. Ah aku rasa sekarang mataku tak memiliki bendungan lagi. Tiba-tiba saja air itu mengalir tanpa permisi seketika aku menyebut nama Dimas. Dimas, kamu udah sadar belum ya? Dimas, aku nggak bisa kerumah kamu hari ini buat nanyain ke ibu. Kepalaku sakit, benar-benar sakit. Ah apa ini! Perutku juga sakit. Ah bodoh. Aku lupa kapan terakhir kali aku makan. Aku tak peduli dengan diriku sendiri sekarang. Yang ada di otakku hanya Dimas, Dimas, Dimas dan Dimas. Aku kembali berbaring setelah hanya berdiri sebentar untuk mencuci muka. Kepalaku benar benar sakit. Seakan ada jutaan palu-palu kecil yang mengetuknya dengan kuat. Samar aku mendengar suara bunda dari lantai bawah memanggil namaku. Tapi aku tak bisa bergerak. Telingaku berdengung. Aku tak bisa mendengar dengan jelas. Penglihatanku semakin lama semakin samar. Aku dapat melihat bunda masuk ke kamarku dan melihatku. Sepertinya bunda berbicara. Tapi aku tak dapat mendengar apapun. Tak lama kemudian ayah masuk ke kamarku mereka mengguncang-guncangkan tubuhku. Tapi aku tak bisa merasakan apapun. Semakin lama penglihatanku semakin buram dan akhirnya gelap. Aku tak mendengar apapun dan tak merasakan apapun. Entah dimana aku saat ini.
Aku mulai merasakan sakitnya kepalaku. Mulai merasakan lagi dinginnya tubuhku. Mulai mendengar lagi. Tapi aku tak mendengar suara siapapun. Yang aku dengar hanya suara nafasku sendiri. Aku mencoba membuka mataku tetapi tidak bisa. Aku mencobanya lagi sampai aku perlahan bisa membukanya. Buram. Masih buram. Tapi langit-langit ini kelihatan asing. Dinding ini asing. Alat-alat ini. Apa yang ada di wajahku sekarang. Mengapa ada rasa aneh di tangan kiri ku. Ah aku dimana. Ayah.. Bunda.. terakhir aku melihat mereka menghampiriku. Tapi kemana mereka sekarang? Tidak ada satupun orang disini. Aku dimana...
Lama aku hanya terdiam menatap langit-langit sampai akhirnya aku sadar bahwa tempat ini adalah rumah sakit. Kenapa aku bisa disini? Apa yang terjadi dengaku? Kenapa tidak ada satu orangpun disini? Kemana ayah dan bunda? Kalau ini benar-benar rumah sakit, dimana susternya? Aku harus bertemu seseorang. Hari apa ini? Jam berapa sekarang? Sudah berapa lama aku disini? Akan berapa lama aku disini? Aku harus pergi menemui Dimas. Ah aku tak terlalu bertenaga untuk berdiri. Bahkan aku tak sanggup bangun dari tempat tidur ini. Tuhan.... kenapa aku merasa lemah sekali? Ah! Kepalaku sakit lagi. Palu-palu itu perlahan kembali sedikit demi sedikit. Telingaku kembali berdengung. Mataku kembaliburam. Akhirnya, semuanya kembali gelap dan hening.
Entah berapa lama lagi aku akan bisa membuka mataku. Aku merasakan tubuhku dingin. Benar-benar dingin. Aku mencoba menggerakkan seluruh tubuhku tapi tak bisa. bahkan untuk membuka mataku saja aku tak mampu. perlahan aku merasakan energi masuk kembali kedalam tubuhku. Sekarang aku memiliku cukup tenaga untuk membuka mataku. Perlahan aku buka tapi masih buram. Aku melihat ada dua orang disini. Tapi aku tak tau siapa. Buram. Lama kelamaan penglihatanku semakin jelas dan sekarang aku dapat melihat kedua orang itu adalah ayah dan bunda. Ah. Aku lega melihat mereka. Aku mencoba berbicara tapi takmengeluarkan suara. Aku mencoba memanggil bunda tapi hanya suara nafas yang aku dengar. Aku rasa itu juga yang mereka dengar. Ah! Aku tak bisa bicara. Apa yang terjadi denganku?
"Gak perlu di paksain raf. Nanti malah rafty makin lemas. Nanti saja. Rafty istirahat aja dulu"
"Baiklah ayah" Aku hanya bisa mengucapkannya dalam hati. Mungkin ayah akan mengerti apa maksudku dengan anggukan kecilyang sekuat tenaga aku usahakan. Aku menutup mataku lagi. Aku merasakan mataku sakit saat aku buka.
Entah berapa lama aku tertidur. Aku merasa sudah tidur terlalu lama.
Aku membuka mataku. Kali ini terasa lebih ringan dari yang sebelumnya. Aku sudah bisa mengerakkan tubuhku. Aku mencoba bangun dari tempat tidurku. ya, aku tak berhasil duduk diatas ranjang ini. Kepalaku masih pusing. Ayah dan bunda terlihat dari pintu ruanganku. Ternyata mereka sedang berbicara dengan dokter. Bunda menangis. Bunda melihat ke arahku. Aku memejamkan mataku seakan aku masih tertidur. Sepertinya ada sesuatu yang mereka sembunyikan dariku. Aku harus mengetahuinya. Mereka masuk kedalam ruanganku. Bunda menggenggam tanganku. Bunda menangis. Ada apa ini bunda? Kenapa bunda menangis? Apa yang terjadi denganku? Kenapa badanku lemas sekali. Kenapa disini dingin. Kenapa jantungku berdetak begitu kencang. Kenapa nafasku sesak. Ah. Nafasku sesak. Kenapa ini. Aku tak punya asma. Nafasku sesak. Mataku kembali buram dan semuanya hitam. Aku tak bisa membuka mataku. Tapi sekarang pernapasanku terasa lebih baik. Dokter memasangkan alat bantu pernafasan lagi setelah sebelumnya dilepas. Aku merasa lebih baik sekarang. Aku bisa bebicara dengan bunda. Aku menanyakan sekarang hari apa. Dan betapa terkejutnya aku saat tau hari ini adalah hari sabtu. Aku tertidur selama empat hari! Empat hari. Sebenarnya apa yang terjadi denganku. Mengapa aku bisa tidur selama itu?
"Bun, sebenernya rafty sakit apa sih? Kok mesti dua minggu dirawat?"
"Rafty cuma kecapekan kok. Makanya jangan capek-capek, makaan itu yang teratur" entah kenapa suara bunda gemetar saat mengatakannya. Apakah bunda sedang berbohong? Nggak mungkin bunda bohong. Kenapa selama ini? Aku ingin menjenguk Dimas.. apa yang terjadi dengan Dimas? Kenapa aku tak mendengar kabar tentangnya?
Sudah dua minggu aku menginap di rumah sakit. Hari ini aku diizinkan pulang oleh dokter. Tubuhku sudah lebih bertenaga dibandingkan sebelumnya.
"Ah kangen banget sama rumah" aku membanting tubuhku di sofa ruang tamu setibanya dirumah. Entah mengapa baru jalan sedikit saja aku merasa lelah. Aku masuk ke kamar dan mencari handphone ku. Mati. Ya, dua minggu handphone ku tak di isi baterainya. Jadi aku langsung mencari charger dan menghindupkan handphone ku. Ada pesan. Dari Dimas! Astaga! Dimas!! Aku begitu senang ada pesan ini masuk. Meskipun membutuhkan waktu yang cukup lama untuk membuka pesan ini karena baru loading.
Raf? Kenapa nomer kamu gak aktif? Aku kangen tau. Kemaren kamu ke rumah aku masih di singapura kan? Sekarang aku udah pulang. Maaf ya aku gak sempat kasih tau ke kamu. Maaf udah bikin kamu cemas juga. Bunda bilang kamu lagi sakit. Aku gak bisa jenguk kamu, maaf ya. Aku belum bisa jalan. Cepetan sembuh ya. Cepetan pulang. Aku kangen. Love you..
Tuhaaaaann betapa senangnya aku menerima pesan ini. Dimas sudah pulang. Dia sudah baikan! Ah! Aku harus menemuinya! Harus! Tapi sekarang sudah malam. Jadi sebaiknya aku istirahat dan mengumpulkan tenagaku untuk bertemu Dimas besok!
Maaf ya, soalnya aku tiba-tiba udah di rumah sakit. Handphone ku ketinggalan. Sekarang aku udah dirumah kok.
Aku memmbalas pesan Dimas saat aku sadar bahwa aku harus membalasnya. Tak lama kemudian handphone ku berdering. Dimas meneleponku. Secepat mungkin aku mengangkatnya.
"Hai" sapa seseorang di seberang sana. Ah suara yang benar-benar aku rindukan.
"Haaaii?" Jawabku dengan senyum yang mengembang. Meskipun aku tau dimas takkan melihatnya. Tapi aku begitu bahagia mendengar suaranya
"Ah kangen banget sama kamu, sama suara kamu, sama senyumnya kamu" ah aku benar-benar gila. Aku begitu merindukan suaranya.
"Sama. Kamu masih sakit? Udah pulih banget? Makanya jangan tunda-tunda makan terus" ah sudah lama aku ingin mengucapkan kalimat itu
"Besok aja kalo mau ngocehnya, buk. Udah malem. Tidur ya. Goodnight"
"Hm iya okedeh, night" dan sambungan telepon pun terputus. Panggilan singkat itu setidaknya bisa membuat tidurku lebih nyenyak malam ini. Aku menarik selimutku dan memejamkan mataku. Tak sabar menunggu esok hari.
Disinilah aku sekarang. Dinteras rumah ini. Terakhir aku kesini aku pulang dengan menangis terisak dan berakhir di rumah sakit selama dua minggu.
Aku mengetuk pintu dan mengucapkan salam.
Tak lama ibu membukakan pintu untukku dan menyuruhku masuk langsung ke kamar dimas.
Aku membuka pintu secara perlahan karena ibu bilang dimas sedang tidur. Aku masuk dan kembali menutup pintu secara perlahan. Aku duduk dipinggir tempat tidur Dimas.
Dimas kelihatan lemah sekali. Dia semakin kurus. Tiba-tiba aku merasakan mataku panas. Air mata mengalir begitu saja tanpa permisi. Aku terisak.
Dimas terbangun. Aku langsung menyeka air mataku. Dimas menarik tanganku dan menggenggamnya. Air mataku kembali mengalir merasakan tangannya yang sudah tak seperti dulu lagi.
"Kamu kenapa nangis?"
"Nggak, nggak apa-apa. Kamu kurusan sekarang" jawabku tebata-bata. Air mataku kembali mengalir.
"Disana gak ada kamu. Jadi aku gamau makan. Lagian makanannya gak enak loh."
"Ah yaiyalah. Makanan rumah sakit mana ada yang enak" jawabku sambil tertawa kecil. Dimas ikut tertawa. Aku senang melihatnya. Itu artinya dia baik-baik saja.
"Raf?"
"Iya?"
"Kok rambut kamu jadi tipis banget?"
"Ah masa?" Jawabku kebingungan dan memegang rambutku.
"Iya sayaaang. Tipis banget malah"
"Boong ah kamu" jawabku mencubit pipi dimas yang sekarang terasa tak memiliki daging lagi.
Lama kami ngobrol sampai akhirnya aku merasa lelah. Badanku mulain dingin. Jantungku kembali berdetak cepat. Napasku sudah sedikit sulit. Aku berpamitan dengan Dimas. Aku tak ingin pingsan disini. Buru-buru aku pulang karena rumahku tak begitu jauh dari rumah Dimas.
Sekitar seratus meter dari rumahku, tiba-tiba saja napasku sesak. Telingaku berdengung, mataku buram. Kakiku bergetar. Tuhaaann. Kuatkan aku. Tiba-tiba semuanya gelap. Aku tak merasakan apapun.
Aku dapat merasakan tubuhku terbaring di kasur. Aku hapal ini kasurku. Aku hapal aromanya.
Mataku masih buram. Kepalaku masih sakit. Aku belum bisa melihat dengan jelas. Lama kelamaan aku bisa melihat dengan jelas. Aku melihat bunda dan ayah dikamarku.
"Rafty lain kali kalo mau kemana-mana bilang ke bunda dulu. Biar di antar. Jangan seperti ini. Bunda kan jadi khawatir"
Aku masih mencerna ucapan bunda. Mungkin memoriku baru kembali. Aku semakin tidak yakin kalau aku hanya kelelahan. Tak mungkin sudah istirahat selama itu tetap saja masih seperti ini.
"Bun, sebenernya rafty sakit apa sih?"
Bunda hanya terdiam dan tak menjawab pertanyaanku. Pasti ada sesuatu yang aneh. Kenapa bunda tak menjawab pertanyaanku.
"Udah, rafty istirahat saja dulu, bunda mau masak untuk makan malam" bunda langsung keluar dari kamarku. Apa yang terjadi? Kenapa bunda merahasiakannya? Tuhaan. Apa yang terjadi denganku? Aku kehilangan lembaran hari-hariku yang biasanya aku isi bersama Dimas. Sekarang aku hanya bisa terbaring di kamarku. Bahkan menuruni tangga saja aku tak sanggup. Sudah tujuh bulan aku begini. Semakin lama aku semakin lemah. Rambutku sudah hampir botak. Beberapa kali bunda memotongnya. Aku tak pernah bertemu dengan Dimas lagi. Karena kami sama-sama tak bisa bangun dari tempat tidur. Kami hanya berkomunikasi lewat telepon. Sekarang aku tau apa penyakitku. Aku menderita anemia. Kemungkinan aku hidup lebih lama sudah hilang. Aku sudah tak ingin lagi menjalani semua pengobatan itu. Sudah tiga minggu aku dirawat di kamarku saja. Aku kehilangan semangat hidupku. Handphoneku berdering. Aku melihat layarnya. Incoming call Ryandimas Adiputra. Aku menjawabnya.
"Hallo princess. Udah seminggu aku nggak telpon kamu yaa. Aku kangen banget. Waktu itu aku drop dan langsung dibawa kerumah sakit. Aku dirawa seminggu. Ternyata abis itu penyakitnya jadi sembuh loh. Lambungnya udah baikan. Terus kankernya udah nggak radang lagi. Ah aku seneng banget. Sekarang aku baru sampe dirumah. Terus besok aku bisa kerumah kamu! Aku seneng banget" celotehan panjangnya membuatku tersenyum, aku bahagia mendengarnya. Itu bagus jika keadaamnu membaik. Tapi tidak denganku. Keadaanku memburuk.
"Bagus kalo gitu, besok jangan sampe gakjadi yaa. Aku kangen banget nih" jawabku, aku ingin menangis, aku bahagia.
"Hehe okeee kamu pasti makin jelek deh. Botak. Tapi aku bakal tetep sayang kamu kok" jawab dimas dan tertawa kecil.
"Udah ya, mau makann dulu. Kamu udah makan?
"Udah, yaudah makan yang banyak ya. Love you" obrolan singkat itupun berakhir. Aku bercerita dengan bunda tentang peyakit Dimas yang sudah membaik. Bunda menangis bahagia. Tetapi terlihat kesedihan dimatanya meskipun dia bilang bahagia. Aku. Aku tak bisa sembuh lagi. Dokter bilang umurku tak sampai sebulan lagi. Oleh karena itu aku memutuskan untuk pulang. Semua harapanku sudah sirna. Dan Dimas sudah sembuh. Aku sudah melihat bahagia. Aku tak dapat tidur malam ini kepalaku sakit. Semuanya sakit. Aku baru bisa tidur setelah diberi obat.
Mataku masih buram. Yang aku tau ada seseorang dikamarku. Dan itu bukan bunda. Semoga saja kali ini aku hanya tertidur satu malam. Aku membuka mataku perlahan. Semakin jelas, dan orang otu adalah Dimas.
"Morning putri tidur" ucap dimas dengan senyum lebar. Aku mencoba duduk, Dimas membantuku. Dimas memelukku erat, aku membalasnya.
"Sekarang kamu yang kurus banget ,raf"
"Ya begitulah. Kamu udah baikan banget? Mau temenin aku jalan-jalan?"
"Besok aja ya. Soalnya bunda bilang hari ini kamu harus tetep dirumah. Semalem kamu.."
"Iyaudah besok" aku memotong ucapan dimas. Dia terlihat tak tau tentang umurku yang sebentar lagi.
Lama dimas dirumahku, menemaniku seharian hingga waktunya dia pulang. Aku harus merelakannya meskipun tak sanggup. Aku takut besok mataku tak bisa terbuka lagi. Tapi aku tak ingin membuat Dimas cemas.
Keesokan harinya aku pergi bersama Dimas ke taman yang biasa kami kunjungi dulu. Sudah begitu lama kami tak kesini meskipun jaraknya tak jauh dari rumah kami. Kami duduk di bangku taman. Dimas merangkulku. Sekarang tangannya sudah seperti dulu. Dia sudah sembuh. Aku bahagia. Jika memang aku harus pergi sekarang. Aku tak lagi keberatan. Aku sudah melihat semua orang bahagia. Aku tak ingin lagi menyusahkan ayah dan bunda. Aku sudah lelah dengan semua pengobatan ini. Dan Dimas. Dimas sudah sembuh. Tuhan.. jika engkau ingin menjemputku sekarang, aku rela.
Tiba-tiba saja mataku panas. Aku menggenggam tangan Dimas sekuat tenagaku yang tersisa. Mataku buram. Aku merasakan cairan keluar dari hidungku. Kepalaku benar-benar sakit. Perlahan aku kehilangan daya untuk menggenggam tangan Dimas. Mataku semakin lama semakin buram. Terakhir aku melihat dimas menangis. Dimas menampung cairan itu dengan tangannya. Semua gelap. Dan aku tak melihat apapun lagi.
Komentar
Posting Komentar